Semangka Emas
Dikisahkan
dalam buku Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara (Sumbi Sambangsari), hidup seorang
saudagar kaya raya di daerah Sambas. Saudagar tersebut memiliki ladang yang
luas, rumah mewah, dan sejumlah harga benda lainnya.
Kekayaan
tersebut membuat saudagar yang memiliki dua anak laki-laki tersebut dihormati
penduduk kampung. Dua anak laki-laki sang saudagar bernama Muzakir dan
Dermawan.
Sayangnya
keduanya memiliki sifat yang jauh berbeda walaupun dilahirkan dari rahim ibu
yang sama. Si sulung, Muzakir memiliki sifat serakah dan kikir, sedangkan si
bungsu, Dermawan memiliki sifat baik hati dan suka menolong.
Suatu
hari, saudagar itu jatuh sakit dan merasa usianya tidak lama lagi. Karenanya,
ia memanggil kedua anaknya ke dalam kamar.
“Anakku,
sepertinya penyakitku ini sudah semakin parah. Kurasa usiaku tidak panjang
lagi. Badanku pun sudah terlalu tua untuk bertahan. Oleh karena itu aku
berpesan agar kalian selalu rukun dalam menjalani hidup,” ucap saudagar itu
lemah.
“Ayah,
janganlah berkata seperti itu. Ayah pasti akan sembuh,” ucap Dermawan berusaha
menguatkan.
“Sebelum
meninggal, aku ingin menyampaikan suatu hal penting kepada kalian. Aku sudah
menulis surat wasiat tentang pembagian harta warisan. Aku membagi hartaku
dengan adil untuk kalian berdua. Jadi, kalian tidak perlu iri antara satu sama
lain,” pesan saudagar itu.
Beberapa
hari kemudian, saudagar itu pun meninggal dunia. Kedua anak itu sangat sedih
karena mereka tidak punya siapa-siapa lagi.
Sepeninggal
sang ayah, harta warisan dibagi sama rata. Muzakir segera membeli sebuah peti
besi yang berukuran besar. Tidak lupa, ia mengunci rapat-rapat peti besi itu
hingga berlapis-lapis. Uang warisan yang didapatnya dimasukkan ke dalam peti
besi tersebut.
Setiap
orang miskin yang datang padanya untuk meminta sedekah selalu ditertawainya
sembari meledek mereka. Tidak ada satu sen pun uang yang keluar dari
kantungnya.
Jika
orang-orang miskin itu tetap tidak mau pergi dari rumahnya, Muzakir akan
memanggil orang bayarannya untuk mengusir mereka. Tidak ada rasa iba atau belas
kasihan pada diri Muzakir melihat orang-orang yang kekurangan.
Orang-orang
miskin itu kemudian pergi berduyun-duyun ke rumah Dermawan. Di sana, mereka
dijamu dengan baik. Dermawan tidak segan-segan mengeluarkan uangnya untuk
orang-orang yang kesusahan. Dia selalu merasa iba dengan orang yang miskin dan
cacat.
Namun
karena kedermawannya, harta Dermawan semakin berkurang karena telah
digunakannya untuk bersedekah. Hingga akhirnya dia tak mampu lagi untuk
mengurus dan membiayai rumahnya yang cukup besar.
Akhirnya
Dermawan menjual rumahnya dan membeli rumah lain yang lebih kecil ukurannya.
Dermawan juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Gaji yang
Dermawan dapatkan tak cukup untuk makan keluarganya. Walau kini hidup
sederhana, Dermawan tetap merasa senang dan selalu bersyukur dan tidak pernah
menyesali apa yang telah dilakukannya dahulu sewaktu banyak memberi sedekah
kepada orang miskin.
Kabar
tentang kehidupan Dermawan yang tidak lagi mewah terdengar oleh Muzakir. Ia
hanya tertawa mengetahui adiknya yang jatuh miskin.
“Dasar
Dermawan bodoh. Coba kalau dia tidak menyedekahkan hartanya untuk orang-orang
miskin, pasti dia tidak akan melarat seperti sekarang! Ha…ha…ha…,” ucap
Muzakir.
Kekayaan
Muzakir semakin lama semakin bertambah. Ia pun mulai membeli rumah yang lebih
bagus dan sebuah kebun kelapa yang sangat luas.
Meskipun
keadaan Muzakir semakin sukses dan semakin kaya, Dermawan tidak pernah merasa
iri ataupun sakit hati. Terlebih dengan kelakuan kakaknya yang suka
menghinanya.
Suatu hari,
Dermawan sedang duduk santai di halaman rumahnya, tiba-tiba jatuh seekor burung
pipit tepat di hadapannya. Burung itu mencicit kesakitan. Ternyata sayap burung
pipit itu patah.
“Aduh,
malang benar nasibmu. Pasti kau kesakitan dan tidak bisa terbang,” kata
Dermawan.
Dengan
perlahan Dermawan mengangkat burung pipit yang malang. Ia membaringkan sang
pipit di atas selembar daun. Lalu ia membalut sayap burung pipit dengan
selembar kain kecil. Setelah itu, diberinya segenggam beras untuk makan si
pipit.
Setelah
sekian lama, burung pipit itu menjadi jinak padanya. Dermawan merawat burung
itu dengan penuh kasih sayang.
Beberapa
hari kemudian, burung pipit itu sudah mulai bisa mengibas-ibaskan sayapnya.
Akhirnya, ia dapat terbang tinggi. Keesokan harinya, burung pipit itu datang
kepada Dermawan sambil membawa sebutir biji di paruhnya.
"Hai
burung kecil, ternyata kau masih ingat aku ya. Tapi biji apa yang kau bawa
untukku?” tanya Dermawan.
Burung itu
hanya meletakkan biji itu di hadapan Dermawan. Melihat tingkah laku pipit yang
lucu, ia tertawa geli.
Dermawan
memperhatikan kembali lebih teliti biji yang dibawa oleh si pipit. Biji itu
terlihat biasa saja, tak ada yang istimewa. Kemudian, Dermawan pun menanam biji
yang dibawa burung pipit di kebun belakang rumahnya.
Tiga hari
sudah sejak kedatangan burung pipit, Dermawan kembali melihat biji yang
ditanamnya. Ternyata, biji itu sudah tumbuh menjadi pohon semangka.
Pohon itu
dirawat dengan baik oleh Dermawan. Ia tidak pernah lupa menyiraminya setiap
sore sehingga pohon semangka itu tumbuh dengan subur.
Semula
dermawan mengira akan banyak buah yang dihasilkan oleh pohon semangka itu. Jika
pohon itu berbuah banyak, ia akan sedekahkan sebagian.
Namun
ternyata buah yang muncul hanya satu meskipun berbunga sangat banyak. Tapi yang
lebih mengherankan adalah ukuran buah semangka itu sangatlah besar, melebihi
ukuran buah semangka pada umumnya. Semangka itu tampak ranum dan berbau harum.
“Wah,
semangka ini besar sekali. Baunya juga sangat harum. Pasti semangka ini sangat
lezat dan nikmat untuk dimakan,” katanya.
Lalu, ia
memetik buah semangka itu. “Wah berat sekali semangka ini,” ujarnya. Dengan
terengah-engah, Dermawan membawa semangka itu ke dalam rumahnya.
Setelah
diletakkan di atas meja, Dermawan membelahnya. “Ya Tuhan, apa ini?” seru
Dermawan.
Betapa
terkejutnya Dermawan ketika semangka yang dibelahnya malah berisi pasir
berwarna kekuningan. Dermawan memperhatikan dengan seksama pasir itu. Ternyata,
pasir itu adalah emas murni yang terurai.
Dermawan
tak percaya apa yang dilihatnya dan sempat tertegun sejenak sebelum akhirnya
menari-nari kegirangan. Tidak berapa lama, Dermawan mendengar suara burung
berkicau. Dicarinya sumber suara itu. Ternyata suara itu berasal dari burung
pipit yang pernah ditolongnya.
“Terima
kasih burung pipit,” ucap Dermawan.
Keesokan
harinya, Dermawan membeli rumah mewah dengan pekarangan yang sangat luas. Ia
pun tidak segan-segan memberi makan pada orang-orang miskin yang datang meminta
sedekah ke rumahnya.
Meskipun
sering menyedekahkan harta, Dermawan tidak pernah jatuh miskin seperti dulu.
Sebab, hartanya sangat banyak dan hasil kebunnya melimpah hingga tak akan
habis.
Melihat
keberhasilan adiknya, Muzakir menjadi iri hati. “Bagaimana mungkin Dermawan
yang sudah jatuh miskin dalam sekejap menjadi orang yang sangat kaya. Aku harus
mencari tahu tentang hal ini,” pikir Muzakir.
Karena
penasaran, keesokan harinya Muzakir pergi bertandang ke rumah adiknya. Ia
bertanya tentang banyak hal bagaimana adiknya bisa menjadi kaya mendadak.
Dermawan
pun menceritakan kejadian yang dialaminya. Setelah mendengar kisah adiknya,
Muzakir segera menyuruh bawahannya untuk mencari burung pipit yang patah kaki
atau sayapnya.
“Kalian
harus mencari burung pipit yang terluka. Carilah ke mana saja sampai kalian
menemukannya. Lalu, bawa ke hadapanku!” perintah Muzakir.
“Baik
tuan,” jawab bawahannya.
Sudah
sepekan berjalan, tetapi orang-orang suruhan Muzakir belum juga berhasil
mendapatkan burung pipit seperti yang diminta. Muzakir sangat marah dan tidak
bisa tidur tenang.
Ia terus
memikirkan cara bagaimana agar burung pipit yang diinginkan bisa didapatkannya.
Setelah beberapa saat berpikir, akhirnya ia menemukan sebuah cara.
Diperintahkanlah
seorang anak buahnya untuk menangkap seekor burung pipit dengan menggunakan
pencapit. Tentu saja hal ini membuat sayap burung yang tertangkap patah. Lalu
Muzakir berpura-pura kasihan kepada burung itu dan mengobati lukanya hingga
sembuh.
Beberapa
hari kemudian, burung pipit itu bisa terbang kembali. Keesokan harinya sang
burung pipit datang kembali ke tempat Muzakir dengan membawa sebutir biji,
persis seperti yang didapatkan Dermawan.
Dengan
gembira, Muzakir menanam biji itu di kebunnya. Ia merawatnya sangat baik
sehingga menjadi sebuah pohon semangka yang memiliki buah yang juga sangat
besar.
Bahkan
jika dibandingkan dengan semangka yang ditanam di kebun Dermawan, semangka
Muzakir jauh lebih besar ukurannya. Sampai-sampai ketika Muzakir memetik dan
membawa buah itu ke dalam rumahnya, ia harus meminta bantuan bawahannya.
Dengan
penuh semangat, Muzakir mengambil sebuah parang. Dibelahnya semangka itu dengan
penuh hati-hati.
Namun
betapa terkejutnya Muzakir ketika buah semangka yang dibelahnya tiba-tiba
menyemburkan lumpur hitam bercampur kotoran hingga mengenai wajahnya. Baunya
pun busuk seperti bangkai.
Pakaian
Muzakir dan permadani yang ada di rumahnya terpercik lumpur hitam. Mendapatkan
hal itu, Muzakir marah bukan kepalang. Ia pun lari keluar sambil
berteriak-teriak. Orang-orang di sekitarnya hanya tertawa terbahak-bahak dan
bertepuk tangan melihat Muzakir yang kikir terkena batunya.